Senin, 22 September 2008

Banyu 2

Setiap hari berlalu lalang truk-truk pengangkut kayu memecah keheningan pagi juga ketenangan desa kami. Kayu-kayu kualitas terbaik desa kami ditebangi dengan serampangan. Tak diindahklan lagi oleh mereka keseimbangan yang seharusnya tetap dijaga ketika menebangi pohon, semua di depan mata terbabat habis. Bahkan anak tunas calon penerus generasi kayu-kayu itu juga ikut tertebas.
“Lik Satumi, tolong percaya sama saya. Kita harus segera pindah dari pinggiran sungai ini, Lik...” Sekuat tenaga aku membujuk Lik Satumi seperti yang dilakukan Fatya padaku. Memintanya untuk segera pindah dari rumah yang dihuninya di pinggiran sungai yang membelah desa kami.
“Kowe iki ojo ngawur, Banyu. Ndak bakalan ada apa-apa. Aku ini sudah puluhan tahun tinggal di sini. Setiap tahun sungai ini memang naik airnya kalau musim hujan. Dan kamu lihat sendiri, kan? Sampai sekarang buktinya aku masih hidup.” Kata Lik Satumi ngeyel.
“Saya ndak ngawur, Lik. Tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Lik Satumi ingat kan kalau kita ini sudah ndak punya hutan? Hutan kita habis, Lik. Jadi tidak akan ada lagi penahan air dari atas sana. Tolong Lik, percayalah sama saya. Saya ndak bohong!”
“Wis tho, Banyu...Urus dirimu sendiri. Ora usah ngurusi orang lain. Kamu lihat sendiri, kan? Semua warga desa ndak bakal percaya sama kamu! Cah edan!”
Cah edan, Cah gendheng itulah yang selalu orang-orang katakan padaku ketika kuingatkan mereka. Atau ketika kuminta meraka melawan Pak Lurah dan para lelaki serakah itu. Tak terhitung berapa puluh orang yang sudah kuperingatkan untuk segera meninggalkan desa. Tidak terhitung pula banyaknya celaan dan makian yang menyambutku. Tidak Rahmat, tidak Fatya, tidak orang-orang desa, semua orang tak ada yang mengindahkanku. Bahkan sampai detik hari mengerikan itu terjadi, mereka tetap masa bodoh denganku.
Siang itu mendung menggulung menakutkan. Petir menyambar-nyambar kejam seperti hentakan lava Merapi yang siap melumat segalanya. Hujan turun seharian menusuk menyakiti kulit. Dalam sekejab dan tak terlihat, desa Lumbang telah habis bersama dengan gemuruh hebat yang menyerupai auman penguasa hutan. Semua penghuni desa Lumbang terlumat oleh banjir bandang yang datang tanpa diduga. Fatya, Rahmat, sahabat terbaikku. Lik Satumi dan Pak Lurah, semuanya menghilang terbawa arus banjir bandang. Tak ada yang tersisa dari desaku. Keelokannya telah terganti dengan kerusakan yang menuai deraian air mata.
Seperti yang telah kukatakan sejak awal. Bahwa hari ini aku selamat, hidup dan bernafas bukan karena aku adalah titisan Nabi Nuh. Seseorang yang telah diberi keistimewaan dan kepercayaan oleh Allah SWT yang kemudian diselamatkan dari adzab yang diturunkan oleh Allah juga. Aku hanya mengingat dan berusaha menjalankan sekuat tenaga apa yang telah diajarkan Pak kyai dan Bapak sebelum beliau meninggal.
Setiap hari Pak kyai mengharuskan kami menghafal satu ayat Al quran. Kemudian meresapi dan mendalami maknanya. Setelah itu menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Aku ingat betul bagaimana Pak Kyai menjelaskan panjang lebar tentang ayat: “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah tangan manusia”. Fatya dan Rahmat juga ada di sana waktu itu.
Saat itu kami bertiga manggut-manggut dan berulang-ulang mengucapkan “inggih, Yai” saat mendengar wejangan Pak Kyai. Bahwa segala yang ada di bumi hanya diciptakan dan diperuntukkan untuk manusia. Kewajiban manusialah untuk menjaga kelestariannya dengan aturan yang digariskan oleh Penguasa bumi. Saat manusia telah ingkar pada apa yang telah ditetapkan Gusti Allah, maka kerusakanlah yang akan diterimanya.
Seperti yang sekarang telah terjadi pada desa kami. Karena kesalahan manusialah air yang begitu bersahabat menjadi murka dan membabat semua yang ada. Fatya dan Rahmat begitu hebat dengan kepandaiannya, lupa mengingat aturan-aturan yang telah digariskan Gusti Allah sehingga mata hatinya tertutupi dari kebenaran.
Fatya, Rahmat dan penduduk desa juga lupa bahwa sebelum murkanya tiba. Sesungguhnya Gusti Allah telah menunjukkan manusia sebuah peringatan. Dan juga sebelum alam marah, alam juga telah memperlihatkan peringatan. Tapi manusia sudah terlalu serakah, terlalu mabuk dengan belitan nikmat dunia sehingga lupa dengan peringatan Gusti Allah. Dan peringatan alam.

-------

Orang miskin DILARANG menebangi hutan, tapi konglomerat punya HPH.
Orang miskin harus melestarikan hutan, orang miskin yang kebanjiran juga.

Tidak ada komentar: