Senin, 22 September 2008
Orang Berzakat Ditangkap!
Baru kemarin selama saya hidup saya mengalami yang namanya : orang berzakat ditangkap. Bukannya saya tidak ikut berduka dengan kejadian meninggalnya 21 orang saudara saya saat pembagian zakat di Pasuruan. Tapi aneh saja, ada orang beramal kok malah ditangkap.
Masalah yang sebenarnya terjadi justru sama sekali tidak diusut oleh media bahkan oleh polisi. Anehnya Bapak Presiden kita yang terhormat malah bilang: jangan eksploitasi orang miskin untuk kepentingan sendiri.
Lha ya, selama ini yang dilakukan beliau dan para pekerjanya memang apa namanya? Oh, mungkin namanya PENYIKSAAN terhadap orang miskin kali ya.
Hanya demi, beberapa kilo beras dan beberapa ribu uang, 7000 saudara saya berjubelan dan 21 orang meregang nyawa. Apakah itu semua belum cukup membuka mata Pemimpin kita bahwa: BANYAK ORANG MISKIN DI NEGERI YANG DIPIMPINNYA.
Bukan eksploitasi orang miskin, ruwetnya mekanisme penyaluran zakat atau rakusnya manusia. Tapi ini masalah tidak tercukupinya kebutuhan dasar manusia.
Saya harap Anda sadar betul masalah ini, sehingga Anda ikut menangis melihat tubuh-tubuh renta itu bergelimang meregang nyawa. Dan mampu menggerakkan nurani Anda untuk memilih dan mencari Pemimpin terbaik yang sayang dan ingat kepada rakyatnya.
Kepada keluarga yang ditinggalkan, terimalah rasa simpati saya yang paling dalam.
Semoga pengorbanan keluarga memenuhi kebutuhan, adalah amalan yang bisa membuatnya berada di tempat terbaik di surga kelak. Amiin.
Banyu 2
“Lik Satumi, tolong percaya sama saya. Kita harus segera pindah dari pinggiran sungai ini, Lik...” Sekuat tenaga aku membujuk Lik Satumi seperti yang dilakukan Fatya padaku. Memintanya untuk segera pindah dari rumah yang dihuninya di pinggiran sungai yang membelah desa kami.
“Kowe iki ojo ngawur, Banyu. Ndak bakalan ada apa-apa. Aku ini sudah puluhan tahun tinggal di sini. Setiap tahun sungai ini memang naik airnya kalau musim hujan. Dan kamu lihat sendiri, kan? Sampai sekarang buktinya aku masih hidup.” Kata Lik Satumi ngeyel.
“Saya ndak ngawur, Lik. Tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Lik Satumi ingat kan kalau kita ini sudah ndak punya hutan? Hutan kita habis, Lik. Jadi tidak akan ada lagi penahan air dari atas sana. Tolong Lik, percayalah sama saya. Saya ndak bohong!”
“Wis tho, Banyu...Urus dirimu sendiri. Ora usah ngurusi orang lain. Kamu lihat sendiri, kan? Semua warga desa ndak bakal percaya sama kamu! Cah edan!”
Cah edan, Cah gendheng itulah yang selalu orang-orang katakan padaku ketika kuingatkan mereka. Atau ketika kuminta meraka melawan Pak Lurah dan para lelaki serakah itu. Tak terhitung berapa puluh orang yang sudah kuperingatkan untuk segera meninggalkan desa. Tidak terhitung pula banyaknya celaan dan makian yang menyambutku. Tidak Rahmat, tidak Fatya, tidak orang-orang desa, semua orang tak ada yang mengindahkanku. Bahkan sampai detik hari mengerikan itu terjadi, mereka tetap masa bodoh denganku.
Siang itu mendung menggulung menakutkan. Petir menyambar-nyambar kejam seperti hentakan lava Merapi yang siap melumat segalanya. Hujan turun seharian menusuk menyakiti kulit. Dalam sekejab dan tak terlihat, desa Lumbang telah habis bersama dengan gemuruh hebat yang menyerupai auman penguasa hutan. Semua penghuni desa Lumbang terlumat oleh banjir bandang yang datang tanpa diduga. Fatya, Rahmat, sahabat terbaikku. Lik Satumi dan Pak Lurah, semuanya menghilang terbawa arus banjir bandang. Tak ada yang tersisa dari desaku. Keelokannya telah terganti dengan kerusakan yang menuai deraian air mata.
Seperti yang telah kukatakan sejak awal. Bahwa hari ini aku selamat, hidup dan bernafas bukan karena aku adalah titisan Nabi Nuh. Seseorang yang telah diberi keistimewaan dan kepercayaan oleh Allah SWT yang kemudian diselamatkan dari adzab yang diturunkan oleh Allah juga. Aku hanya mengingat dan berusaha menjalankan sekuat tenaga apa yang telah diajarkan Pak kyai dan Bapak sebelum beliau meninggal.
Setiap hari Pak kyai mengharuskan kami menghafal satu ayat Al quran. Kemudian meresapi dan mendalami maknanya. Setelah itu menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Aku ingat betul bagaimana Pak Kyai menjelaskan panjang lebar tentang ayat: “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah tangan manusia”. Fatya dan Rahmat juga ada di sana waktu itu.
Saat itu kami bertiga manggut-manggut dan berulang-ulang mengucapkan “inggih, Yai” saat mendengar wejangan Pak Kyai. Bahwa segala yang ada di bumi hanya diciptakan dan diperuntukkan untuk manusia. Kewajiban manusialah untuk menjaga kelestariannya dengan aturan yang digariskan oleh Penguasa bumi. Saat manusia telah ingkar pada apa yang telah ditetapkan Gusti Allah, maka kerusakanlah yang akan diterimanya.
Seperti yang sekarang telah terjadi pada desa kami. Karena kesalahan manusialah air yang begitu bersahabat menjadi murka dan membabat semua yang ada. Fatya dan Rahmat begitu hebat dengan kepandaiannya, lupa mengingat aturan-aturan yang telah digariskan Gusti Allah sehingga mata hatinya tertutupi dari kebenaran.
Fatya, Rahmat dan penduduk desa juga lupa bahwa sebelum murkanya tiba. Sesungguhnya Gusti Allah telah menunjukkan manusia sebuah peringatan. Dan juga sebelum alam marah, alam juga telah memperlihatkan peringatan. Tapi manusia sudah terlalu serakah, terlalu mabuk dengan belitan nikmat dunia sehingga lupa dengan peringatan Gusti Allah. Dan peringatan alam.
Orang miskin harus melestarikan hutan, orang miskin yang kebanjiran juga.
Aparatur Negara Yth
Saya harus mengurus SKCK atau jaman dulu dikenal dengan SKKB.
Asal Anda tahu SKCK saya seharga: Rp 37.000,-
Di desa (ketahuan deh, saya orang desa) saya harus mengeluarkan X rupiah.
Di kecamatan saya diberitahukan: "Administrasi terserah Anda"
Di Polsek saya dikenai biaya Y rupiah.
Lalu di Polres saya juga dimintai Z rupiah.
Dan masih di Polres juga, di bagian pemeriksaan sidik jari,
ada perkataan: "Adminstrasi seikhlasnya"
Bukannya saya tidak ikhlas dengan uang yang telah saya keluarkan
HANYA untuk mendapat selembar SKCK.
Tapi, yang saya heran kenapa harus ada perkataan dalam tanda (") dan harus ada biaya.
Bukannya kertas, tinta printer, tinta stempel, dan tinta cap sidik jari sudah DISEDIAKAN dan DISUPLAY negara. Yang uangnya diambil dari uang rakyat.
Yang asalnya dari minyak bumi, gas alam, emas, batu bara yang digali dari bumi Indonesia. Yang HARUSNYA jadi milik rakyat tapi DIKELOLA negara.
Lalu sebenarnya untuk apa biaya itu semua???
Semoga, tahun di pemilu 2009 bisa lahir Pemimpin yang baik.
Yang menjamin gaji para aparaturnya dengan baik.
Yang meningkatkan kesejahteraan aparturnya dengan baik.
Sehingga saya orang terakhir yang diminta biaya dan
diminta "Administrasi seikhlasnya"
Minggu, 14 September 2008
Bayu
Begitu banyak orang yang membodohkan seseorang yang memiliki daya ingat tinggi ketimbang seseorang yang memiliki daya hitung baik. Lihat saja bagaimana semua orang di desa menyanjung Fatya. Gadis manis dan pemalu ini selain disanjung karena helai kerudung yang menutup rapat rambutnya juga disanjung karena kepiawaiannya memecahkan angka. Yang dengan itu, Fatya dengan mudah mengantongi juara lomba Matematika se-Kabupaten.
Atau lihat bagaimana semua penduduk desa juga menyanjung Rahmat. Pemuda yang berumuran sebaya denganku ini selalu dielu-elukan karena kehebatannya membuat perhitungan saat berburu. Tak satupun peluru senapan anginnya meleset saat menembak buruan yang ditemuinya.
Lalu aku. Tak seorang pun mengelukan aku. Apalagi menyanjungku seperti yang dilakukan orang-orang pada Fatya. Seperti yang sudah kubilang, karena aku tak memiliki daya hitung yang baik. Jangankan piawai memecahkan angka, menembak kelinci yang telah terjerat di depan matapun rasa-rasanya aku tak sanggup. Tapi kau harus tahu sesuatu. Bahwa aku bisa selamat, bernafas dan hidup sampai saat ini, selain karena campur tangan–Nya juga karena aku memiliki daya ingat yang tinggi ketimbang daya hitung baik.
Keluargaku terlahir sebagai keluarga air. Selain karena memang tubuh kami sebagian besar terisi air seperti yang dimiliki orang-orang, juga karena hampir semua keluargaku memiliki sejarah dengan air. Karena itulah aku menamakan keluargaku adalah keluarga air.
Bapak menghabiskan seumur hidupnya sebagai tukang irigasi air sungai di belakang rumah ke sawah-sawah desa. Ibu juga menghabiskan waktunya bergelut dengan air. Resiko pekerjaannya sebagai buruh cuci. Dua orang kakakku sama sekali tidak bergelut dengan air memang, tapi mereka telah pergi lebih dulu karena terseret pusaran air. Dan aku, aku adalah air itu sendiri. Namaku Banyu. Anak air.
“Banyu, tolong hentikan usaha sia-siamu itu. Semua orang ndak akan percaya sama kamu...” Fatya sekali lagi mencoba membujuk rayu aku selayaknya anak kecil yang bisa ditipu dengan permen sebagai pengganti mobil-mobilan yag dimauinya.
“Aku ndak bisa, Fat. Mereka sudah keterlaluan. Maaf, Bapakmu juga keterlaluan. Jadi aku mohon berhentilah membujuk-bujuk aku. Aku tidak akan mengubah jalan pikiranku, Fat...”
“Kepala batu! Bisa ndak sih, kamu ndak mempermalukan aku, sahabatmu, sekali ini saja...”
“Jadi selama ini, kamu menganggap aku memalukan, Fat?”
“Aaah, susah ngomong sama kamu. Sekarang terserah kamu! Aku ndak mau ikut-ikutan gila kayak kamu! Aku emoh...!”
Itu kata-kata terakhir Fatya padaku. Dan sekaligus perjumpaan terakhirku dengan Fatya. Karena setelah itu, Fatya menghindariku untuk bertemu muka denganku.
Saat itu kupikir Fatya adalah gadis terbodoh yang pernah kukenal. Dan sahabat yang paling tidak layak untuk dijadikan sahabat. Saat sahabatnya membutuhkan dukungan dan pembenaran darinya, justru dia malah meninggalkan aku. Menganggapku memalukan dan sakit jiwa. Karena itu, kupikir segala penjelasanku sudah tertutup untuknya. Namun aku tahu kalau ternyata aku salah. Aku salah tak menjelaskan semuanya dengan jelas pada Fatya. Aku sungguh menyesal atas ini. Tapi penyesalanku yang tak berujung ini jelas-jelas sangat tidak berguna. Semua telah terlambat.
“Aku tahu kalau mereka itu memang serakah. Tapi kalau memang kehadiran mereka bisa memajukan desa kita, piye?”
“Memajukan dari mana, Mat? Mereka itu mau ngerampok harta kita. Mosok kita mau diam aja? Kita dapat apa? Ora onok, Mat!”
“Banyu...Banyu...Lha terus kalau kita tahu mereka mau ngerampok, kita bisa apa? Kamu lihat pengawal-pengawalnya? Wuihhh! Badannya gedhe-gedhe. Lagian bekingane iku lho, Pak Lurah. Berani kamu sama Pak Lurah, ha?” Rahmat bertanya padaku dengan membulatkan matanya lebar-lebar. Sepintas kulihat kalau ternyata matanya sangat bening dan bersinar tajam. Sama sekali tak kusangka kalau saat itu adalah saat terakhirku bersitatap dengan Rahmat.
Lumbang nama desaku. Terletak di sebuah dataran rendah yang dikelilingi oleh sebuah hutan luas lagi hebat. Hutan hijau khatulistiwa tempat berkumpulnya kayu-kayu berumur ratusan tahun kualitas terbaik. Tempat hidup puluhan hewan hutan. Dan sandaran hidup penduduk desa
Dialah yang menjaga air kami tetap selalu bening, beraroma harum menyegarkan dan menjamin kami tak akan pernah kehabisan. Tapi itu dulu. Aku lupa berapa puluh tahun lalu itu.
Sekarang hutan itu telah dirambah dengan serakah oleh para lelaki sakit jiwa itu. Seperti yang Rahmat bilang, atas ijin Pak Lurah. Entah apa yang merasuki pikiran Pak Lurah sampai tega menjual hutan penjaga keseimbangan hidup penduduk desa.
%%%%%%%
Bersambung dulu ya...
Pasir Usruk
Jadi keinget sama keadaanya kaum yang saya sandang sekarang - kaum Anda juga mungkin.
Kaum muslimin sekarang pada kebingungan banget. Mau milih pendapat ulama yang mana.
Sudah bingung masih harus ditambah dengan ulama yang mengaku ulama yang justru pendapatnya amburadul. Jelas-jelas Al-Quran mengharamkan pornografi, dengan adanya perintah menutup aurat. Eh, malah orang-orang yang mengaku-aku ulama menentang hukum Al-Quran.
Jadi tambah ruwet saja kondisi kaum muslimin dan saya - Anda juga tidak?
seperti ruwetnya halaman samping rumah Bapak saya yang otomatis menjadi halaman rumah saya juga.
Ya, Allah...
Mbok segera diturunkan penyelamat-penyelamat di muka bumi ini.
Sehingga kaum muslimin bisa selamat dari keruwetan dunia dan juga siksa neraka nantinya.