Begitu banyak orang yang membodohkan seseorang yang memiliki daya ingat tinggi ketimbang seseorang yang memiliki daya hitung baik. Lihat saja bagaimana semua orang di desa menyanjung Fatya. Gadis manis dan pemalu ini selain disanjung karena helai kerudung yang menutup rapat rambutnya juga disanjung karena kepiawaiannya memecahkan angka. Yang dengan itu, Fatya dengan mudah mengantongi juara lomba Matematika se-Kabupaten.
Atau lihat bagaimana semua penduduk desa juga menyanjung Rahmat. Pemuda yang berumuran sebaya denganku ini selalu dielu-elukan karena kehebatannya membuat perhitungan saat berburu. Tak satupun peluru senapan anginnya meleset saat menembak buruan yang ditemuinya.
Lalu aku. Tak seorang pun mengelukan aku. Apalagi menyanjungku seperti yang dilakukan orang-orang pada Fatya. Seperti yang sudah kubilang, karena aku tak memiliki daya hitung yang baik. Jangankan piawai memecahkan angka, menembak kelinci yang telah terjerat di depan matapun rasa-rasanya aku tak sanggup. Tapi kau harus tahu sesuatu. Bahwa aku bisa selamat, bernafas dan hidup sampai saat ini, selain karena campur tangan–Nya juga karena aku memiliki daya ingat yang tinggi ketimbang daya hitung baik.
Keluargaku terlahir sebagai keluarga air. Selain karena memang tubuh kami sebagian besar terisi air seperti yang dimiliki orang-orang, juga karena hampir semua keluargaku memiliki sejarah dengan air. Karena itulah aku menamakan keluargaku adalah keluarga air.
Bapak menghabiskan seumur hidupnya sebagai tukang irigasi air sungai di belakang rumah ke sawah-sawah desa. Ibu juga menghabiskan waktunya bergelut dengan air. Resiko pekerjaannya sebagai buruh cuci. Dua orang kakakku sama sekali tidak bergelut dengan air memang, tapi mereka telah pergi lebih dulu karena terseret pusaran air. Dan aku, aku adalah air itu sendiri. Namaku Banyu. Anak air.
“Banyu, tolong hentikan usaha sia-siamu itu. Semua orang ndak akan percaya sama kamu...” Fatya sekali lagi mencoba membujuk rayu aku selayaknya anak kecil yang bisa ditipu dengan permen sebagai pengganti mobil-mobilan yag dimauinya.
“Aku ndak bisa, Fat. Mereka sudah keterlaluan. Maaf, Bapakmu juga keterlaluan. Jadi aku mohon berhentilah membujuk-bujuk aku. Aku tidak akan mengubah jalan pikiranku, Fat...”
“Kepala batu! Bisa ndak sih, kamu ndak mempermalukan aku, sahabatmu, sekali ini saja...”
“Jadi selama ini, kamu menganggap aku memalukan, Fat?”
“Aaah, susah ngomong sama kamu. Sekarang terserah kamu! Aku ndak mau ikut-ikutan gila kayak kamu! Aku emoh...!”
Itu kata-kata terakhir Fatya padaku. Dan sekaligus perjumpaan terakhirku dengan Fatya. Karena setelah itu, Fatya menghindariku untuk bertemu muka denganku.
Saat itu kupikir Fatya adalah gadis terbodoh yang pernah kukenal. Dan sahabat yang paling tidak layak untuk dijadikan sahabat. Saat sahabatnya membutuhkan dukungan dan pembenaran darinya, justru dia malah meninggalkan aku. Menganggapku memalukan dan sakit jiwa. Karena itu, kupikir segala penjelasanku sudah tertutup untuknya. Namun aku tahu kalau ternyata aku salah. Aku salah tak menjelaskan semuanya dengan jelas pada Fatya. Aku sungguh menyesal atas ini. Tapi penyesalanku yang tak berujung ini jelas-jelas sangat tidak berguna. Semua telah terlambat.
“Aku tahu kalau mereka itu memang serakah. Tapi kalau memang kehadiran mereka bisa memajukan desa kita, piye?”
“Memajukan dari mana, Mat? Mereka itu mau ngerampok harta kita. Mosok kita mau diam aja? Kita dapat apa? Ora onok, Mat!”
“Banyu...Banyu...Lha terus kalau kita tahu mereka mau ngerampok, kita bisa apa? Kamu lihat pengawal-pengawalnya? Wuihhh! Badannya gedhe-gedhe. Lagian bekingane iku lho, Pak Lurah. Berani kamu sama Pak Lurah, ha?” Rahmat bertanya padaku dengan membulatkan matanya lebar-lebar. Sepintas kulihat kalau ternyata matanya sangat bening dan bersinar tajam. Sama sekali tak kusangka kalau saat itu adalah saat terakhirku bersitatap dengan Rahmat.
Lumbang nama desaku. Terletak di sebuah dataran rendah yang dikelilingi oleh sebuah hutan luas lagi hebat. Hutan hijau khatulistiwa tempat berkumpulnya kayu-kayu berumur ratusan tahun kualitas terbaik. Tempat hidup puluhan hewan hutan. Dan sandaran hidup penduduk desa
Dialah yang menjaga air kami tetap selalu bening, beraroma harum menyegarkan dan menjamin kami tak akan pernah kehabisan. Tapi itu dulu. Aku lupa berapa puluh tahun lalu itu.
Sekarang hutan itu telah dirambah dengan serakah oleh para lelaki sakit jiwa itu. Seperti yang Rahmat bilang, atas ijin Pak Lurah. Entah apa yang merasuki pikiran Pak Lurah sampai tega menjual hutan penjaga keseimbangan hidup penduduk desa.
%%%%%%%
Bersambung dulu ya...